Daftar di PayPal, lalu mulai terima pembayaran menggunakan kartu kredit secara instan.

Selasa, 23 Maret 2010

Diposting oleh pemula

LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU ; Trilogi Buku Lekra Yang Dilarang Beredar

Trilogi Buku Lekra terdiri dari:

  1. Lekra Tak Membakar Buku – Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat. Mengulas banyak hal dari sepuluh bab, seperti Garis Utama Ideologi Kebudayaan, Riwayat Harian Rakjat, Sastra, Film, Seni Rupa, Seni Pertunjukan (Ketoprak, Wayang, Drama, Ludruk, Reog), Seni Tari, Musik, dan Dunia Buku.
  2. Laporan dari Bawah – Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965; Buku ini merekam geliat 100 cerita pendek yang ditulis oleh eksponen budaya Lekra (sastra) untuk memberitahu bagaimana gaya realisme sosialis “ditemukan”, “diadaptasi”, dan “dipraktikkan” di lapangan kesusastraan Indonesia.
  3. Gugur Merah – Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965; Himpunan puisi ini adalah ikhtiar mengumpulkan sekira 450 judul puisi dari 111 penyair Lekra yang nama dan puisinya terekam di lembar kebudayaan Harian Rakjat sepanjang 15 tahun (1950-1965).


Dari Trilogi buku Lekra ini buku “Lekra Tak Membakar Buku – Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat” dinyatakan dilarang beredar oleh Kejagung. Provokatif dan Agitatif. Itulah kata yang pas untuk menilai judul buku ini. Namun, justru disinilah letak kekuatan buku ini untuk menarik mata pembaca agar memelototi kata demi kata dalam setiap halaman, dengan pertanyaan yang senantiasa membebani kepala “benarkah lekra tak pernah membakar buku?”

Terlebih, tema bakar-membakar buku adalah trend kekinian bagi pihak-pihak yang merasa berkuasa untuk melenyapkan buku-buku yang dianggap mengganggu “ketertiban umum” dan kelanggengan kekuasaan. Pembakaran, atau minimal pelarangan buku bukanlah dominasi kebijakan orde lama, orde baru, ataupun masa reformasi sekarang. Hampir di sepanjang sejarah umat manusia sejak mengenal budaya tulis, selalu terdapat pihak yang keblinger untuk membakar “puncak-puncak peradaban” demi melanggengkan posisinya dalam panggung sejarah. Dan apapun alasannya, membakar buku adalah “dosa besar.”

Buku ini disusun dengan menggunakan sumber tunggal dari Harian Rakjat, sebuah surat kabar harian yang pertama kali terbit 31 Januari 1951 dan menjadi corong Partai Komunis Indonesia (PKI). Harian yang terakhir terbit pada 3 Oktober 1965 ini, memiliki edisi khusus hari minggu yang dinamakan Lembar Kebudayaan. Melalui wadah inilah para budayawan Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) menuangkan berbagai kerja budayanya dalam bentuk cerita pendek, sajak, dan sebagainya.

Penulis bekerja dengan memanfaatkan data-data yang terdapat dalam edisi Harian Rakjat yang selamat dari “pembantaian massal,” namun “terpenjara” dalam ruang khusus perpustakaan yang berlabel “bacaan terlarang” dan telah menjadi santapan lezat rayap selama 30 tahun lebih. Hanya dengan ketekunan, penulis bisa merekam hampir seluruh artikel berita kebudayaan yang menjadi konsens Lekra. Hasilnya tidak mengecewakan, selain menghasilkan buku ini, mereka juga menyusun dan menyunting buku “Gugur Merah” yang merupakan himpunan 450 puisi dari 111 penyair Lekra, serta buku “Laporan dari Bawah” berisi 100 cerita pendek yang termuat dalam lembar kebudayaan Harian Rakyat dalam kurun 15 tahun. Maka buku ini sangat tepat dikatakan sebagai trilogi tuntas mengenai sejarah dan hasil karya Lekra sebelum lembaga ini disemayamkan secara paksa dalam liang sejarah.

Meski mengandalkan satu sumber utama, dua orang penulis muda ini mampu menyajikan seluk beluk Lekra secara lengkap. Lekra sebagai organisasi dikupas tuntas dari sudut ideologi, genesis, asas, karya, dan geraknya dalam sejarah. Organisasi yang lahir 17 Agustus 1950 ini menyatukan “seniman2 pedjuang” atau “pedjuang2 seniman” dalam satu keyakinan saat berkarya, bahwa politik sebagai panglima. Ruang kerja Lekra meliputi bidang susastra, film, senirupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan perbukuan yang kesemuanya diabdikan untuk tujuan politik. “Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tapi kebudayaan tanpa politik tidak bisa sama sekali.”

Sempurna bukan berarti tanpa celah. Kelemahan yang nampak pada buku ini, meski bukan dikategorikan sebagai kesalahan metodologi, adalah keputusan penulis untuk menggunakan sumber tunggal utama yang berasal dari Harian Rakjat. Sartono Kartodirdjo, sudah sejak lama mengingatkan agar penggunaan surat kabar sebagai sumber sejarah dilakukan secara kritis. Peringatan ini terkait dengan unsur subjektivitas, kekurangtelitian, ketergesahan, kedangkalan, dan kecenderungan pemuatan sensasi dalam pemberitaan surat kabar. Lebih-lebih telah jelas sikap Harian Rakjat sebagai corong politik PKI. Maka penggunaan sumber ini hanya bisa disiasati dengan kritis melalui penggunaan sumber-sumber lain sehingga bisa memperlebar pandangan dalam melihat masa lalu.

Keputusan penulis untuk tidak memanfaatkan para budayawan Lekra yang masih hidup sebagai sumber data juga patut disesalkan. Dengan apologi penulis bahwa tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup “boleh jadi ingatan mereka sudah tak terlalu bersih-jernih” dan “dicuci oleh penyiksaan,” maka mereka tidak dijadikan informan. Padahal para pelaku sejarah ini lebih tahu banyak segala tentang Lekra, karena mereka adalah pelaku yang hidup sejaman dan merasakan langsung menjadi anggota Lekra.

Penulis mungkin memang telah menyelamatkan berbagai data dan informasi penting dalam lembaran koran tua Harian Rakjat yang dimakan rayap. Sayang sekali penulis tidak berminat menyelamatkan data dan informasi penting dalam ingatan para pelaku, yang boleh jadi segera dimakan waktu. Koran langka mungkin bisa diselamatkan dengan cetak ulang, tapi pelaku sejarah tidak akan pernah bisa dicetak ulang!

Lantas, benarkah Lekra tak pernah membakar buku? Pertanyaan yang senantiasa terngiang dalam telinga sejak membaca judul buku, baru terjawab pada bagian akhir buku ini. Secara tertulis, memang tidak terdapat bukti—setidaknya berdasar informasi yang termuat dalam Harian Rakjat—bahwa Lekra pernah menginstuksikan untuk membakar buku lawan-lawanya, seperti karya Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Secara organisasi, mungkin Lekra tidak pernah menginstruksikan untuk membakar buku. Tapi secara perseorangan, mungkin ada anggota-anggota Lekra yang membakar buku. Membakar buku dan semua karya mereka sendiri yang bisa dijadikan bukti untuk mengeksekusi penulisnya. Untuk yang satu ini, membakar buku tidak dikategorikan dosa besar! (ref)

Selamat Jalan LEKRA

(Dinukil dari Bab Penutup ‘Lekra Tak Membakar Buku’)

Sebelum mendapat vonis hukuman mati di depan mahkamah sejarah pada 1 Oktober 1965, limabelas tahun kehidupan Lekra adalah limabelas tahun bekerja agar kebudayaan mendapatkan tempat terhormat di tengah kehidupan politik Indonesia. Kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendens atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong- persegi raut Indonesia.

Dan seniman/sastrawan bukan kelas pinggiran di panggung luas bernama Indonesia. Lekra sudah menunjukan dengan segamblang gamblang nya bagaimana cara menghormati kebudayaan Indonesia, menghormati tradisi yang dilahirkan Rakyat, membawa pulang sastra ke pangkuan si pemiliknya, yakni Rakyat.

Lekra oleh seteru-seteru politik kebudayaan yang dilabelinya sebagai pemangku “humanisme universil”, “seni untuk seni”, “kontra-revolusioner”, mendaftar sekian panjang dosa-dosa dan mengubur kehadiran dan perannya dalam ruang ingatan masa depan. Buku-buku ditulis dengan gempita dan penuh semangat mengasasinasinya tanpa ada pembelaan. Rasa-rasanya belum cukup dosa itu dibayar dengan penghukuman penjara puluhan tahun, pengejaran dan penggorokan leher para budayawannya oleh aksi massa yang sangat brutal, penembakan-penembak an sistematik Angkatan Bersenjata. Para seteru politik kebudayaan itu menulis buku-buku dengan bersemangat bahwa Lembaga Kebudayaan Rakyat yang jumlah pendukung di dusun dan di kota yang luar biasa banyak itu bukan hanya diisi orang-orang haus kuasa, algojo-algojo haus darah, tukang keroyok, pembikin onar panggung kebudayaan, tapi juga turut aktif menggulingkan Sukarno dengan cara-cara kotor dan licik, yakni lewat jalan kudeta 30 September.

Katakanlah semua dosa itu benar sebagai dosa (walau harus dibuktikan dulu). Katakanlah Lekra pembabat kebebasan berkreasi. Katakanlah Lekra adalah penghasut, tukang fitnah, bahkan ada yang menudingnya sebagai pembakar buku yang brutal. Tapi tak adakah yang positif yang mereka berikan buat warga bangsa yang dicintainya ini sepanjang 15 tahun bekerja di lapangan kebudayaan Indonesia?

Di bidang penegakkan moralitas, Lekra adalah laskar kebudayaan yang memagari moralitas keluarga dan anak-anak Indonesia dengan intensif dari amukan bacaan-bacaan cabul, komik bandit-banditan, film-film Hollywood yang mempertontonkan kevulgaran, musik ngak-ngik-ngok. Laskar budaya Lekra beserta ormas-ormas revolusioner melakukan sweeping atas hiburan-hiburan malam yang memamerkan dansa-dansi dan pakaian-pakaian seronok.

Janganlah dilupakan bagaimana cendekiawan organik Lekra dan sekaligus Wakil Ketua II CC PKI Njoto pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bojonegoro, Jawa Timur. Pada saat malam pidato itu, sebagaimana digambarkan Harian Rakjat edisi 5 Februari 1955,

“sekolah SMA-malam jang muridnja berdjumlah lebih dari 300 orang, malam itu ditutup, dan guru2 maupun murid2nja semuanja datang ketjeramah PKI”. Setelah menerangkan secara terang benderang tentang “Front Anti Komunis” yang menurutnya bukan hanya komunis yang dimusuhi, tapi juga PNI, NU, PSII, PRN, dll yang karena itu sebetulnya adalah “Front Anti Segala Sesuatu”; tapi juga “nyerempet” ke soal sikap PKI—juga Lekra—atas demoralisasi masyarakat khususnya bagi anak-anak pelajar. Dengan tangkas Njoto menegaskan sikap bulat: “Menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita. Pengaruh jang djelek itu sudah demikian meluasnja, sehingga tidak sedikit anak2 kita jang menanggalkan pakaiannja jg nasional, pakaiannya jang normal, dan lebih suka memakai tjelana jang sajasebut sadja ,,tjelana potlot”.

Njoto dalam pidato yang sama berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada Parlemen. Dan untuk mendukung validitas data, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) memfasilitasi sarasehan besar “Demoralisasi Peladjar” yang digelar selama sepekan pada 27 Februari s/d 5 Maret 1955 di Jogjakarta.

Keseriusan dan ketegasan terhadap semua produk kebudayaan yang mencemari “watak dan sifat anak2 kita” itulah yang membikin Lekra Jogja melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat. Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs. Soemarsono, yang menyerukan bahwa “disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatles, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim”.

Sebelum giliran “pakaian jang berbau nekolim” atau “tjelana potlot” kena sapu, Angkatan Kepolisian Jawa Timur memang sudah terlebih dulu melego semua piringan hitam berisi lagu-lagu ngak-ngik-ngok. Dalam kesadaran terdalam aktivis PKI dan Lekra, moralitas bangsa harus tetap dilindungi dari destruksi yang ditimbulkan budaya-budaya nekolim. Karena itu tindakan-tindakan di lapangan pun diambil secara seksama dan sistematis. Gelombang demonstrasi dan propaganda menjebol, misalnya, produksi film-film Amerika Serikat yang disebar oleh Association Picture American of Indonesia (AMPAI) dilangsungkan secara massif dan berhasil. AMPAI pun jebol pada Oktober 1964.

Majalah-majalah cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang. Sejalan dengan itu, Badan Kontak Organisasi Wanita Indonesia Djawa Timur (BKOWI) di Surabaya juga mengeluarkan pernyataan menertibkan peredaran buku-buku dan majalah yang tak sesuai dengan kepribadian nasional. Keluarnya pernyataan itu merupakan respons langsung dari beredarnya kisah-kisah bergambar yang tak pantas dilihat, “Keluarga Miring” No 8, 9, 10 terbitan Semarang tahun 1965.

Kerap PKI dan Lekra dituding melecehkan agama. Itu diajarkan di sekolah dan menjadi dongengan yang wajar dalam masyarakat dan karena itu menjadi benar. Sebagian barangkali benar. Tapi bagaimana dengan kejadian di Banyuwangi seperti ini dan diliput Harian Rakjat edisi 25 April 1953 dengan judul berita “BANJUWANGI: 13 buah mesdjid diperbaiki PKI”.

Kerdjabakti jang dilangsungkan pada tg. 8-4 jl. dipimpin oleh Subsecom Pesanggrahan – Banjuwangi, dan diikuti oleh 532 petjinta PKI berhasil membersihkan kantor ODM setempat, halaman tangsi polisi, kantor Djapen, makam Pahlawan, Kuburan2, memperbaiki djalan Pasar, menggali parit sepandjang 2 KM dan membersihkan/ mengkapur 13 buah mesdjid (surau).

Kerdjabakti tsb. disaksikan oleh Ass. Wedana setempat.

Di film-film bagaimana orang-orang PKI dan seluruh ormas yang sealiran dengannya diperlihatkan memasuki masjid, menginjak-injak Alquran, seperti kejadian di Kanigoro, Kras, Kediri. Dan rekaman itu terus berulang hingga merasuki bawah sadar dan melahirkan kebencian yang tiada tara. Barangkali tudingan itu benar. Tapi tidakkah PKI—ketika mereka berada pada titik konsolidasinya yang kuat—sudah memberi bantahan yang tak pernah terungkap dalam dua kali pemuatan di Harian Rakjat edisi 13 Februari 1965:

Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur’an”. Tema ini sadjapun sudah menundjukkan, bahwa maksud sipembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.

Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU.

Tentang peristiwa Kanigoro itu sendiri, silakan dibaca berita sanggahan berikut ini pada Harian Rakjat edisi 11 Februari 1965:

Team PB Front Nasional jang terdiri dari Major Said Pratalikusuma dan Hartojo dengan dibantu anggota pengurus daerah F.N. Djawa Timur ketika mengadakan penindjauan on the spot kedaerah Kanigoro, Kras, memperoleh tjukup bukti, bahwa antara BTI dan Pemuda Rakjat disatu pihak dan NU serta GP Ansor dilain pihak, tidak ada perasaan apa2 bertalian dengan terdjadinja peristiwa Kanigoro.

Dinjatakan oleh anggota team PB FN, bahwa peristiwa Kanigoro sudah dapat diatasi karena kesadaran dan kewaspadaan Rakjat untuk melawan setiap gerakan kontra-revolusi. Di Mental Training Kader PII di Kanogoro, Kras, didaerah Kediri pada waktu itu disinjalir adanja gerakan kontra-revolusi jang dilakukan anggota2 bekas partai terlarang.

Major Said Pratalikusuma dalam pertemuan dengan para wartawan Surabaja mengemukakan setjara kronologis mengenai kedjadian2 sebelum dan sesudah terjadinja peristiwa Kanigoro dimana dinjatakan bahwa pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2. Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan.

Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom….

Dalam memberikan keterangan kepada para wartawan itu Team PB FN djuga menjanggah pemberitaan sementara suratkabar jang menjatakan, bahwa dalam peristiwa Kanigoro telah di-indjak2 Kitab Sutji Al-Quran. Dengan tandas dikatakan ,,itu tidak benar”.

Di dalam tradisi mencipta atau menulis, Lekra juga telah meninggalkan tradisi yang baik: yakni riset intensif. Mencipta dan menulis apa saja baik drama, cerita pendek, puisi, esai, atau melukis hendaklah terlebih dahulu dilakukan riset yang tekun di lapangan. Mereka menamakan tradisi riset itu dengan turun ke bawah atau Turba ke desa-desa yang terpencil selama satu atau dua bulan. Di sana, pekerja budaya Lekra itu bukan menampilkan diri sebagai “turis”, melainkan pendamping masyarakat. Pekerja Lekra tak boleh lebih tinggi dari tani-nelayan- buruh yang disebut Presiden Sukarno sebagai sokoguru Revolusi. Tak boleh keminter dan sok-sokan, mentang-mentang dari kota dan terpelajar. Dalam Turba, setiap pekerja Lekra memegang teguh aturan main yang emansipatif yang mereka sebut “tiga sama”: sama kerja, sama makan, sama tidur. Apa yang dikerjakan petani, itu juga yang dikerjakan pekerja Lekra. Kalau petani makan tiwul, pekerja Lekra juga makan tiwul.

Kalau petani tidur beralas papan keras, pekerja Lekra juga mesti tidur di atas papan. Di desa itulah, kerap pekerja Lekra terlibat membantu dan mendampingi petani merebut hak-haknya yang dirampas sewenang-wenang oleh para tuan tanah. Kalau sudah begini, mereka akan diuber-uber oleh polisi yang memang memihak pada kekuatan feodal di kampung-kampung. Tradisi baik ini kemudian yang masih kita saksikan dalam tradisi Kuliah Kerja Mahasiswa (KKN) yang saban tahun dilakukan untuk tujuan akademis tapi minus ideologi dan kesadaran penuh membela Rakyat tertindas. Atau ini juga dilakukan LSM-LSM yang mendampingi masyarakat papah di daerah-daerah.

Berkait dengan basis kesenian Lekra adalah dari kelas bawah, maka kerja lembaga ini yang tak boleh disepelekan adalah membawa sastra masuk kampung dan pabrik-pabrik. Mengajari masyarakat menulis puisi, membina anak-anak muda menulis puisi, cerpen, atau apa pun. Lekra juga intensif merevitalisasi dongeng-dongeng Nusantara dengan memanggungkannya di pentas ketoprak, teater, arena deklamasi, bahkan dalam lukisan-lukisan. Dari sisi musik, Lekra bersemangat mengumpulkan lagu-lagu daerah dan memperkenalkannya secara nasional, seperti salah satunya lagu Rakyat berjudul Genjer-genjer asal daerah Banyuwangi yang kemudian disangsai oleh rezim post Sukarno sebagai lagu penyuplai praktik seks cabul dan menstimulasi kebiadaban.

Tari-tari daerah pun direvitalisasi, diberi isi baru—bukan hanya sebagai tari penghibur dan objek turisme, tapi juga mampu menstimulasi perlawanan yang revolusioner. Bahkan beberapa tari dinaikkan tarafnya menjadi tari pergaulan nasional seperti tari “Lenso” dari Maluku.

Pekerja budaya Lekra juga dengan bersemangat mengangkat dan melindungi kebudayaan Rakyat dan kepunahan atau pencaplokan hak oleh negara lain yang ingin melihat Indonesia terus tersiksa dan terbelakang terus diingatkan oleh kongres dan konferensi nasionalnya untuk terus bekerja keras meregistrasi nyanyian daerah, dongeng Rakyat, tari daerah. Sebab untuk memperkokoh letak berdirinya kebudayaan Indonesia ini, mestilah memperkuat pondasi kebudayaan Rakyat. Dan itu tak bisa dilakukan dengan mengandalkan dayabayang belaka, tapi juga dayakerja di lapangan kebudayaan di tengah-tengah kehidupan Rakyat.

Di bidang senirupa, tergabung para perupa-perupa maestro seperti Affandi, Hendra, Sudjojono, dan sederet lainnya pelukis-pelukis Rakyat dengan pelbagai ekspresi dan gayanya. Dari tangan perupa-perupa itulah lahir organ dan gerakan seni yang revolusioner seperti Persagi, SIM, Pelukis Rakyat, dan sebagainya. Karya-karya para perupa ini pun diperjuangkan Lekra agar bisa menghiasi dinding kantor-kantor jawatan pemerintah yang bertebaran di Jakarta. Dan jika sekali waktu melewati bunderan Hotel Indonesia, lihatlah tugu “Selamat Datang” yang merupakan karya pematung Lekra Henk Ngantung yang juga menjadi dewan juri perlombaan membikin Monumen Nasional (Monas). Di masa ketika Lekra hadir inilah seni grafis yang kerap dianggap kelas dua dalam seni rupa seperti mural, karikatur, poster, cukikayu, mendapatkan tempat yang terhormat.

Di dalam menghalau kekuatan asing seperti Amerika Serikat, Lekra tak pernah kehabisan stok energi. Mereka sebar seluruh pasokan logistik perlawanan di mana-mana. Di sidang-sidang kongres, pleno, di rapat-rapat umum, di ruang-ruang seminar, di atas kanvas pelukis, di kuplet-kuplet puisi, di dinding-dinding mural, di halaman-halaman koran, buku, di atas panggung pertunjukan, di layar putih, dan di sekujur jalanan kota yang memungkinkan mengalirnya sumpah dan protes.

Lekra dengan bekerjasama dengan organisasi masyarakat yang sepaham—dan tentu saja PKI—tak pernah kendur dan lelah menyiapkan bara di bawah kursi empuk agen-agen imperialis yang menduduki Indonesia. Di bidang film, distributor film Amerika (AMPAI) diuber sampai rubuh. Berkarung-karung majalah-majalah Amerika yang kerap menjelek-jelekkan Indonesia disita para buruh pos dan dengan kemarahan yang mendidih-didih dibakar oleh Pemuda Rakjat dibakar.

Gedung Penerangan Amerika Serikat (USIS) di Surabaya dan di Jakarta diganyang. Industri-industri minyak Amerika seperti Exxon atau perusahaan Inggris bernama Unilever nyaris setiap hari didatangi dan disumpahserapahi karena keterlibatan negara-negara ini memakzulkan negara-negara berdaulat seperti Pakistan, Vietnam, Kamboja, Laos, Konggo, Venezuela, Aljazair, dan serangkaian negara Asia-Afrika Amerika Latin lainnya. Untuk melawan kekuatan imperialis yang bersekongkol dengan banyak negara sekutunya, Lekra juga membangun basis perlawanan lewat jejaringan ikatan kebudayaan antara negara negara blok Asia-Afrika- Amerika Latin. Dengan jaringan ini, konsolidasi perlawanan menjadi efektif dan memiliki gaung dan efek waswas bagi negara-negara imperialis.

Akhirul kalam, selama 15 tahun usianya, Lekra telah memperlihatkan dan membuktikan bahwa kebudayaan punya posisi tawar dan merupakan cara paling damai mengajak dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendongkel kekuasaan kolonial dan feodal yang menghambakan Rakyat.

Maka dari itu, penulis buku ini berucap: selamat jalan Lekra. Tugas buku ini mesti pungkas di sini saja setelah memberi panggung terbuka bagi pekerja budaya Lekra, baik komunis maupun nonkomunis, untuk mengatakan bahwa inilah kerja kreatif kami selama limabelas tahun tanpa lelah bekerja dalam setiap ceruk komunitas kesenian seperti ketoprak, reog, jatilan, ludruk, wayang, tari, sandiwara, sanggar-sanggar lukis, di mimbar-mimbar sastra dan seminar, rapat terbuka, bioskop, partai politik, pabrik, desa, gang-gang kumuh, kampung-kampung nelayan yang asin, organ-organ persekutuan, konferensi-konferen si internasional, bahkan hingga dalam gedung parlemen, kantor-kantor jawatan, dan istana presiden.

Lalu kita pun tahu bahwa Lekra tak seperti makhluk setengah setan setengah manusia. Mereka seutuhnya manusia dan pekerja-pekerja kreatif. Mereka adalah cendekiawan- cendekiawan organik yang sadar memilih di mana ia mesti mengambil tempat di lapangan kebudayaan Indonesia. Dan peristiwa G-30-S, tak hanya mengubur Lekra sebagai organ, tapi juga memacetkan pertumbuhan cendekiawan- cendekiawan revolusioner bertalenta yang dipunyai Indonesia.

Terlepas dari baik buruknya buku ini, saya berani mengatakan bahwa buku ini buku merupakan karya monumental yang mendokumentasikan penggalan sejarah berkebudayaan di Indonesia. Karenanya buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para pecinta sejarah, pemerhati, dan pelaku gerakan kebudayan Indonesia. Kiprah Lekra selama lima belas tahun tampil apa adanya dalam buku ini. Ada yang buruk, ada pula yang baik. Yang buruk bisa menjadi pelajaran agar hal serupa tak terulang kembali. Sedangkan apa yang baik dari kerja kreatif Lekra setidaknya dapat menjadi inspirasi dan bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kebudayaan kita saat ini.

anda dapat mebaca penggalan isi buku klick ling di bawah :

BACA BUKU KOK DILARANG ………… ????

0 komentar:

Posting Komentar